AIKA MATERI TERAKHIR SEMESTER 3
Metodologi Burhani
Al-Burhani secara
sederhana bisa diartikan sebagai suatu aktivitas berpikir untuk menetapkan
kebenaran proposisi melalui pendekatan deduktif dengan mengaitkan proposisi
satu dengan proposisi yang lain yang telah terbukti kebenarannya secara
aksiomatik.
Menurut Al-Jabiri,
prinsip-prinsip burhani pertama kali dibangun oleh Aristoteles (384-322 SM)
yang dikenal dengan istilah metode analitik (tahlili); suatu cara
berpikir yang didasarkan pada proposisi tertentu dengan mengambil 10 kategori,
sebagai objek kajiannya.
Sarjana pertama yang
mengenalkan dan menggunakan metode burhani adalah al-Kindi (806-875 M).
Kemudian, metode rasional atau burhani ini semakin masuk sebagai salah satu
sistem pemikiran Islam Arab setelah masa al-Razi (865-925 M). Ia lebih ekstrim
dalam teologi dan dikenal sebagai seorang rasionalis murni yang hanya
mempercayai akal. Dan akhirnya, metode burhani benar-benar mendapat tempat
dalam sistem pemikiran Islam setelah masa al-Farabi (870-950 M).
Ciri utama dari burhani
adalah silogisme, tetapi silogisme tidak mesti menunjukkan burhani. Dalam
bahasa Arab, silogisme diterjemahkan dengan qiyas. Sedangkan secara
istilah, silogisme adalah suatu bentuk argumen di mana dua proposisi yang
disebut premis, dirujukkan bersama sedemikian rupa, sehingga sebuah keputusan
(konklusi) pasti menyertai.[1][9]
Metodologi Irfani
Irfan dari kata dasar
bahasa Arab ‘arafa semakna dengan makrifat, berarti pengetahuan. Irfan
atau makrifat berkaitan dengan pengetahuan yang diperoleh secara langsung lewat
pengalaman. Karena itu, secara epistimologis, irfan dapat diartikan sebagai
pengungkapan atas pengetahuan yang diperoleh lewat penyinaran hakekat oleh
Tuhan kepada hamba-Nya serta adanya oleh ruhani yang dilakukan atas dasar
cinta. Irfan adalah wujud mutlak, yaitu Allah swt.[2][10]
Para ahli berbeda
pendapat tentang asal sumber irfan. Pertama, menganggap bahwa irfan
Islam berasal dari sumber Persia dan Majusi. Alasannya, sejumlah besar
orang-orang Majusi di Iran Utara tetap memeluk agama mereka setelah penaklukan
Islam dan banyak tokoh sufi yang berasal dari daerah Khurasan.
Kedua, irfan berasal dari
sumber-sumber Kristen. Alasannya, (1) adanya interaksi antara orang-orang Arab
dan kaum Nasrani pada masa jahiliyah maupun zaman Islam, (2) adanya segi-segi
kesamaan antara kehidupan para sufis, dalam soal ajaran, tata cara melatih
jiwa, dengan kehidupan Yesus dan ajarannya.
Ketiga, irfan ditimba dari India.
Alasannya, (1) kemunculan dan penyebaran irfan pertama kali adalah di Khurasan,
(2) kebanyakan dari para sufi angkatan pertama bukan dari kalangan Arab, (3)
pada masa sebelum Islam, Turkistan adalah pusat agama dan kebudayaan Timur
serta Barat, (4) konsep dan metode tasawuf seperti keluasan hati dan pemakaian
tasbih adalah praktek-praktek dari India.
Perkembangan irfan,
secara umum bisa dibagi dalam lima fase, yaitu:
a.
Fase pembibitan (abad
pertama hijriah). Karakter periode ini adalah (1) berdasarkan ajaran al-Qur’an
dan sunnah, menjauhi hal-hal duniawi demi meraih pahala dan menjaga diri dari
neraka. (2) bersifat praktis, tanpa ada perhatian untuk menyusun teori atas
praktek-praktek yang dilakukan. (3) motivasi zuhudnya adalah rasa takut.
b.
Fase kelahiran (abad
kedua hijriah). Jika pada abad pertama hijriah, zuhud dilakukan atas dasar
takut dan mengharap pahala, pada periode ini zuhud dilakukan atas dasar cinta
kepada Tuhan, bebas dari rasa takut atau harapan mendapat pahala.
c.
Fase pertumbuhan (abad
3-4 hijriah). Pada fase ini, irfan telah mengkaji soal moral, tingkah laku dan
peningkatannya, pengenalan intuitif langsung pada Tuhan, dan pencapaian
kebahagiaan..
d.
Fase puncak (abad ke-5
H). Pada periode ini irfan mencapai periode gemilang dengan banyaknya pribadi
besar yang lahir dan menulis tentang irfan, di antaranya al-Ghazali (Ihya
Ulum al-Din) yang menyelaraskan tasawuf dan fiqh (irfan dan bayani).
e.
Fase spesikasi (abad
ke-6 dan 7 H). Irfan semakin dikenal dan berkembang dalam masyarakat Islam
berkat pengaruh pribadi al-Ghazali.[4][12]
Berikut ini adalah uraian dari metode irfan;
Etika
|
Irfan
|
Filsafat
|
|
Praktis
|
Teoritis
|
||
Membahas hubungan
antara manusia saja.
|
Membahas hubungan
antar manusia dan hubungan manusia dengan Tuhan.
|
Berdasarkan visi dan
intuisi kemudian dikemukakan teori secara logis.
|
Berpijak pada
postular-postulat.
|
Tidak ada tahapan tertentu.
Seseorang bisa memilih mana yang harus dilakukan.
|
Ada tahapan-tahapan
yang harus dilalui lebih dulu untuk menuju tujuan akhir.
|
Eksistensi Tuhan
meliputi semuanya dan segala sesuatu adalah manifestasi sifat-Nya.
|
Eksistensi non Tuhan
sama riel-nya dengan eksistensi Tuhan sendiri.
|
Unsur spiritual sangat
terbatas.
|
Unsur spiritual yang
sangat luas
|
Capaian tertinggi
manusia adalah kembali kepada asal-usulnya (Tuhan).
|
Capaian tertinggi
manusia adalah memahami semesta.
|
Sarana yang dipakai
adalah kalbu (hati) dan kesucian jiwa.
|
Sarana yang dipakai
adalah akal dan intelek.
|
Metodologi Bayani
Bayani adalah metode
pemikiran khas Arab yang menekankan otoritas teks (nash), secara
langsung atau tidak langsung, dan dijustifikasikan oleh akal kebahasaan yang
digali lewat inferensi (istidlal). Secara langsung artinya memahami
memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikan tanpa perlu
pemikiran; secara tidak langsung berarti memahami teks sebagai pengetahuan
mentah sehingga perlu tafsir dan penalaran. Meski demikian, hal ini tidak
berarti akal atau rasio bisa bebas menentukan makna dan maksudnya, tetapi harus
tetap bersandar pada teks. Dalam bayani, rasio dianggap tidak mampu memberikan
pengetahuan kecuali disandarkan pada teks. Dalam perspektif keagamaan, sasaran
bidik metode bayani adalah aspek eksoterik (syari’at).
Pengertian tentang
bayani, berkembang sejalan dengan perkembangan pemikiran Islam. Begitu pula
aturan-aturan metode yang ada di dalamnya. Pada masa Syafi’i (767-820 M) yang
dianggap sebagai peletak dasar yurisprudensi Islam, bayani berarti nama yang
mencakup makna-makna yang mengandung persoalan ushul (pokok) dan yang
berkembang hingga ke cabang (furu’). Sedang dari segi metodologi, Syafi’i
membagi bayan ini dalam lima bagian dan tingkatan, yaitu:
a.
Bayan yang tidak butuh
penjelasan lanjut, berkenaan dengan sesuatu yang telah dijelaskan Tuhan dalam
al-Qur’an sebagai ketentuan bagi makhluk-Nya.
b.
Bayan yang beberapa
bagiannya masih global sehingga butuh penjelasan sunnah.
c.
Bayan yang
keseluruhannya masih global sehingga butuh penjelasan sunnah.
d.
Bayan sunnah, sebagai
uraian atas sesuatu yang tidak terdapat
dalam al-Qur’an.
e.
Bayan ijtihad, yang
dilakukan dengan qiyas atau sesuatu yang tidak terdapat dalam al-Qur’an maupun
sunnah.[5][13]
Dalam ushul al-fiqh,
yang dimaksud nash sebagai sumber pengetahuan bayani adalah al-Qur’an dan
hadits. Ini berbeda dengan pengetahuan burhani yang mendasarkan diri pada rasio
dan irfani pada intuisi. Karena itu
epistimologi bayani menaruh perhatian besar dan teliti pada proses transmisi
teks dari generasi ke generasi.
Untuk mendapatkan
pengetahuan, epistimologi bayani menempuh dua jalan. Pertama, berperan
pada redaksi (lafadz) teks dengan menggunakan kaidah bahasa Arab, seperti nahw
dan sharaf sebagai alat analisa. Kedua, menggunakan metode qiyas
(analogi) dan inilah prinsip utama epistimologi bayani.[6][14]
Hubungan dan Perbedaan Metodologi Burhani, Irfani, dan Bayani
Dalam khazanah filsafat Islam, dikenal ada tiga buah metodologi pemikiran,
yakni burhani, irfani, dan bayani. Ketiga model epistemologi ini, dalam
sejarahnya telah menunjukkan keberhasilannya masing-masing. Masing-masing model
epistimologi ini tidak dapat digunakan secara mandiri untuk pengembangan
ilmu-ilmu keislaman kontemporer. Untuk mencapai hal tersebut, ketiganya harus
disatukan dalam sebuah jalinan yang disebut “hubungan silkuler”.
Tata kerja hubungan di antara ketiga epistimologi yaitu burhani, irfani,
dan bayani dapat digambarkan sebagai berikut:
Hubungan antara metode burhani dengan lainnya juga bisa dipetakan sebagai
berikut:
Burhani berbeda dengan bayani dan irfani, yang masih berkaitan dengan teks
suci, burhani sama sekali tidak mendasarkan diri pada teks, juga tidak pada
pengalaman.burhani menyandarkan diri pada kekuatan rasio, akal, yang dilakukan
lewat dali-dalil logika. Bahkan, dalil-dalil agam hanya bisa diterima sepanjang
ia sesuai dengan logika rasional. Perbandingan ketiga epistimologi ini adalah,
bayani menghasilkan pengetahuan lewat analogi realita non-fisik atas realitas
fisik; irfani menghasilkan pengetahuan lewat proses penyatuan rohani pada Tuhan
dengan pernyataan universal; dan burhani menghasilkan pengetahuan melalui
prinsip-prinsip logika atas pengetahuan sebelumnya yang telah diyakini
kebenarannya.[7][15]
Bayani
|
Irfani
|
Burhani
|
|
Sumber
|
Teks Keagamaan/ Nash
|
Kasyf
|
Rasio
|
Metode
|
Berpegang pada zhahir
teks; Qiyas al-ghaib ala al-syahid; Qiyas al-far 'ala al-ashl
|
Qiyas al-syahid ala
al-ghaib
|
Silogisme
|
Pendekatan
|
Linguistik/Dilalatal
Lughawiyah
|
Psikho-Gnostik
|
Logika
|
Tema Sentral
|
Ashl-Furu'; Kata-Makna
|
Zahir-Batin;
Wilayah-Nubuwah
|
Essensi-Aksistensi;
Bahasa-Logika
|
Validitas Kebenaran
|
Korespondensi
|
Intersubjektif
|
Koherensi, Konsistensi
|
Pendukung
|
Kaum Teolog, ahli
Fiqh, dan ahli Bahasa
|
Kaum Sufi
|
Para Filosof
|
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan
di atas dapat disimpulkan bahwa metodologi adalah ilmu pengetahuan yang
mempelajari tentang cara-cara atau jalan yang ditempuh untuk mencapai suatu
tujuan dengan hasil yang efektif dan efisien. Ada bebarapa metodologi dalam
filsafat Islam, diantaranya:
1. Observasi, yaitu
pengamatan yang dilakukan secara sengaja, sistematis mengenai fenomena sosial
dengan gejala-gejala yang ada untuk kemudian dilakukan pencatatan.
2. Burhani, yaitu suatu
aktivitas berpikir untuk menetapkan kebenaran proposisi melalui pendekatan
deduktif dengan mengaitkan proposisi satu dengan proposisi yang lain yang telah
terbukti kebenarannya secara aksiomatik.
3. Irfani, yaitu
pengungkapan atas pengetahuan yang diperoleh lewat penyinaran hakekat oleh
Tuhan kepada hamba-Nya serta adanya oleh ruhani yang dilakukan atas dasar
cinta. Irfan adalah wujud mutlak, yaitu Allah swt.
4. Bayani, yaitu metode
pemikiran khas Arab yang menekankan otoritas teks (nash), secara
langsung atau tidak langsung, dan dijustifikasikan oleh akal kebahasaan yang
digali lewat inferensi (istidlal).
Komentar
Posting Komentar
Terima Kasih atas kritik dan sarannya ya guys